Langsung ke konten utama

STUDI TERHADAP PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG MAKNA AHL AL-KITAB DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan fondasi untuk membina rumah tangga, oleh karenanya Islam mensyari'atkan perkawinan untuk melanjutkan keturunan secara sah dan mencegah perzinahan. Adapun tujuannya ialah agar tercipta rumah tangga yang penuh kedamaian, ketenteraman, cinta dan kasih sayang.
Allah tidak berkeinginan menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya tanpa suatu aturan. Kemudian, demi menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia, Allah menciptakan hukum sesuai martabatnya, sehingga hubungan antara pria dan wanita diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai.[1]­­­­
Hubungan saling meridhai ini pada dasarnya bermula dari adanya rasa suka antar lain jenis, yang kemudian dengan kesepakatan keduanya berlanjut untuk melangsungkan perkawinan. Tidak diragukan lagi, jika kedudukan antara pria dan wanita sama atau sebanding atau sederajat, maka akan membahagiakan kehidupan rumah tangga yang akan dibina. Persamaan itu antara lain adalah sama dalam kedudukan, tingkat sosial, sederajat dalam akhlak, kekayaan dan agama.
Salah satu bentuk perkawinan yang masih dalam kontroversi -dan tentunya kontroversi ini akan terus berlanjut- adalah perkawinan beda agama, perkawinan yang tidak sederajat dalam hal agama. Apabila dibagi, maka perkawinan beda agama ini terbagi menjadi empat bentuk:
1.      Perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b
2.      Perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik
3.      Perkawinan antara wanita muslim dengan pria Ahl al-Kita>b
4.      Perkawinan antara wanita muslim dengan pria musyrik, yakni yang bukan Ahl al-Kita>b.
Perkawinan bentuk pertama, sebagian Ulama membolehkan dan sebagian lagi mengharamkannya. Ulama yang membolehkan berdasarkan firman Allah:
….والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين اوتوا الكتاب من قبلكم, إذا ءاتيتموهن أجورهن محصنين غير مسافحين ولا متخذي أخدان ومن يكفر بالإيمان فقد حبط عمله وهو في الآخرة من الخاسرين   [2]

Dari teks z}ahir ayat ini dapat dipahami bahwa Allah membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b yang muh}s}ana>t, artinya wanita-wanita yang menjaga kehormatannya,[3] dari perbuatan zina. Selain arti itu, ada juga yang memahami kata muh}s}ana>t ketika dirangkaikan dengan u>tu> al-kita>b dari ayat di atas dengan arti wanita-wanita merdeka atau wanita-wanita yang sudah kawin.[4]
Sedangkan yang mengharamkannya juga merujuk pada firman Allah yang menyatakan:
ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولاتنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم أولـئك يدعون إلي النار والله يدعوا إلي الجنة والمغفرة بإذنه ويبين ءاياته للناس لعلهم  يتذكرون[5]

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah mengharamkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik, begitu juga sebaliknya, wanita muslim pun dilarang menikahi pria musyrik.
Mereka yang mengharamkan mengatakan bahwa Q.S. al-Ma>'idah (5): 5 tersebut di atas telah dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah (2): 221. Diantara yang berpendapat demikian adalah Syi'ah Ima>miyyah dan Syi'ah Zaidiyyah.[6] Seorang sahabat nabi, Ibnu 'Umar r.a, ketika ditanya tentang perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b menjawab: Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik dikawini orang-orang Islam dan aku tidak melihat kesyirikan yang lebih besar dari seorang wanita yang berkata: 'I>sa> adalah Tuhan, atau Tuhannya adalah seorang manusia hamba Allah.[7] Dapat disimpulkan bahwa Ibnu 'Umar tidak membedakan antara Ahl al-Kita>b dan musyrik, yakni karena Ahl al-Kita>b berbuat syirik, ia juga masuk dalam kategori musyrik.
Menurut Muhammad Quraish Shihab selanjutnya dalam penelitian ini disebut Quraish atau Quraish Shihab saja- dan kelompok yang membolehkan, berdasar teks z{ahir ayat, bahwa pendapat yang mengatakan Q.S. al-Ma>'idah (5): 5 dinasakh oleh Q.S. al-Baqarah (2): 221, adalah suatu kejanggalan. Karena ayat yang disebut pertama turun belakangan daripada ayat yang disebut kedua, dan tentu saja tidak logis sesuatu yang datang terlebih dahulu membatalkan hukum sesuatu yang belum datang atau yang datang sesudahnya.[8]
Golongan yang membolehkan juga menguatkan pendapat mereka dengan menyebutkan beberapa sahabat dan ta>bi'i>n yang yang pernah menikah dengan wanita Ahl al-Kita>b. Dari kalangan sahabat antara lain ialah 'Us|ma>n, T{alh}ah, Ibnu 'Abba>s, Ja>bir bin H}uzaifah. Sedangkan dari kalangan ta>bi'i>n semisal Sa'i>d ibn Musayyab, Sa'i>d ibn Zubair, al-H}asan, Muja>hid, T{a>wus, Ikri>mah, asy-Sya'a>biy dan ad-Dahha>k.[9]
Perkawinan bentuk kedua dan keempat, umumnya disepakati oleh jumhur Ulama sebagai perkawinan yang diharamkan, berdasarkan Q.S. al-Baqarah (2): 221. Adapun perkawinan bentuk ketiga, meskipun tidak disebutkan dalam al-Qur'an, menurut jumhur adalah juga diharamkan. Walaupun pandangan mayoritas Ulama tidak memasukkan Ahl al-Kita>b dalam kelompok yang dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria Ahl al-Kita>b mengawini wanita muslimah. Bukankah mereka, walau tidak dinamai musyrik, dimasukkan dalam kelompok kafir ?. Dari ayat di bawah ini dapat dipahami bahwa wanita-wanita muslimah tidak diperkenankan mengawini atau dikawinkan dengan pria kafir, termasuk juga Ahl al-Kita>b, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
ياأيها الذين ءامنوا إذا جاء كم المؤمنات مهاجرات فامتحنوهن الله أعلم بإيمنهن فإن علمتموهن مؤمنت فلاترجعوهن إلى الكفار لاهن حل لهم ولاهم يحلون لهن وءاتوهم ما أنفقوا ولا جناح عليكم أن تنكحوهن إذا ءاتيتموهن أجورهن ولا تمسكوا بعصم الكوافر[10]

Pembahasan ini hanya akan membahas perkawinan beda agama bentuk pertama, yakni perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b. Akan tetapi dalam pembahasan selanjutnya tentunya juga akan berkaitan dengan perkawinan beda agama bentuk kedua, ketiga dan keempat.
Pada dasarnya, perbedaan pendapat Ulama bermula ketika mereka menyebutkan siapa saja yang termasuk Ahl al-Kita>b. Ima>m Sya>fi'i> misalnya, memahami istilah Ahl al-Kita>b sebagai orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Mu>sa> dan 'I>sa>, hanya diutus kepada mereka, orang-orang Israel, bukan kepada bangsa-bangsa lain. Selain itu, juga karena adanya redaksi min qablikum (sebelum kamu) pada ayat yang membolehkan perkawinan itu (Q.S. al-Ma>idah (5): 5). Berbeda dengan Ima>m Sya>fi'i>, Ima>m Abu> H{ani>fah dan mayoritas pakar-pakar hukum menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl al-Kita>b. Dengan demikian, Ahl al-Kita>b tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani. Jika ada satu kelompok yang hanya percaya pada S}uhu>f Ibra>him[11]atau Zabu>r yang diberikan kepada Nabi Dawu>d a.s saja, maka ia pun termasuk dalam jangkauan pengertian Ahl al-Kita>b. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil Ulama-ulama salaf, yang menyatakan bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci, maka mereka juga dicakup oleh pengertian Ahl al-Kita>b, seperti halnya Majusi. Kemudian diperluas lagi sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan Hindu.[12] Tentunya, pendapat-pendapat yang berbeda ini akan membawa implikasi kepada siapakah golongan yang boleh atau tidak boleh dinikahi pria muslim.
Pendapat-pendapat yang penyusun utarakan di atas adalah pendapat-pendapat para Ulama besar Islam di Timur Tengah, yang zaman, tempat dan keadaan mereka berbeda dengan kenyataan di Indonesia, sehingga menarik penyusun untuk mengkaji pendapat seorang Ulama Indonesia, yakni Muhammad Quraish Shihab, yang tidak diragukan lagi kapasitas keilmuannya dalam bidang kajian keislaman, terlebih lagi dalam bidang tafsir yang nantinya akan sangat membantu penyusun untuk mengetahui pendapatnya tentang makna Ahl al-Kita>b serta hukum perkawinan dengan wanita Ahl al-Kita>b. Quraish adalah seorang ahli tafsir kenamaan Indonesia. Sebagai seorang ahli tafsir, tentunya ia mempunyai kompetensi ketika menafsirkan siapakah yang dikhitab al-Qur'an sebagai Ahl al-Kita>b. Terlebih lagi setelah ia menyelesaikan kitab tafsir al-Qur'an tiga puluh juznya yang berjudul Tafsir al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an, karena penafsiran terhadap siapa yang dikhitab Ahl al-Kita>b oleh al-Qur'an tentu idealnya setelah seseorang "menyelami" ayat-ayat al-Qur'an. Dari pengetahuan yang menyeluruh ini, tentunya ia mempunyai penafsiran sendiri, setelah mengemukakan dalil-dalil penafsirannya. Setelah mengetahui siapa yang dikhitab oleh al-Qur'an sebagai Ahl al-Kita>b, tidak hanya disitu, penelitian ini kemudian melanjutkan pembahasan mengenai pendapat Quraish tentang hukum perkawinan dengan wanita Ahl al-Kita>b. Quraish adalah orang Indonesia dan tahu seluk-beluk keadaan masyarakat di negeri ini. Sebagai ahli tafsir kenamaan, pendapatnya tentu sangat diperhitungkan.
Menurut Quraish, Ahl al-Kita>b itu mencakup dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani, kapan, dimanapun dan dari keturunan siapa pun mereka. Tentunya pendapat Quraish tentang makna Ahl al-Kita>b ini akan membawa implikasi kepada siapakah golongan yang dibolehkan atau diharamkan dinikahi pria muslim. Tidak hanya itu, sisi baik buruk Ahl al-Kita>b juga akan menentukan kebolehan perkawinan dengan wanita mereka.
Sesuai dengan teks z}ahir Q.S al-Ma>'idah (5): 5, Quraish membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b. Kebolehan ini menurutnya adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, dimana kaum muslim sering berpergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, dan sekaligus juga untuk tujuan dakwah. Selain itu, kebolehan itu adalah bentuk toleransi Islam kepada agama Ahl al-Kita>b dalam bentuk perkawinan, karena pria muslim mengakui kenabian 'I>sa> yang dituhankan oleh Ahl al-Kita>b.[13] Walaupun membolehkan, tetapi tetap ada kekhawatiran dalam dirinya terhadap keberlangsungan dari perkawinan ini. Quraish menyebutkan bahwa jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya dan bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman, ketidakharmonisan dan kegagalan perkawinan.[14] Kalau ini kemudian terjadi, tentunya tidak sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu menciptakan keluarga yang sakinah.
Di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), semua bentuk perkawinan beda agama adalah dilarang, tak terkecuali perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b, satu-satunya bentuk perkawinan beda agama yang dibolehkan oleh jumhur Ulama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf (c) KHI yang melarang perkawinan antara pria muslim dengan wanita non muslim dan pasal 44 KHI yang melarang perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim.
Pasal 44 KHI yang mengatur tentang larangan perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim adalah sesuai dengan pendapat jumhur Ulama, oleh karenanya tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi, pada pada pasal 40 huruf (c) yang melarang perkawinan beda agama antara pria muslim dengan wanita non muslim, termasuk wanita Ahl al-Kita>b, adalah bertentangan dengan pendapat jumhur Ulama yang cenderung membolehkan perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b sesuai dengan teks z{ahir ayat, walaupun selanjutnya membolehkan dengan syarat bahwa si suami yang menikahi wanita Ahl al-Kita>b itu tidak terjerumus ke dalam akidah Ahl al-Kita>b. Kedua pasal ini mengisyaratkan agar umat Islam sedapat mungkin tidak melakukan perkawinan beda agama, walaupun ada bentuk perkawinan beda agama yang dibolehkan, karena pertimbangan madaratnya lebih besar dari manfaatnya. Perbedaan keyakinan ini tidak jarang menjadi pemicu munculnya konflik dalam rumah tangga. Ini tentu tidak dikehendaki oleh pasangan suami istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Konsep Ahl al-Kita>b dalam Islam adalah konsep yang sangat khas, yang sangat mengedepankan toleransi beragama. Konsep ini bermaksud memberikan pengakuan tertentu kepada penganut agama lain yang memiliki kitab suci,[15] yaitu mengakui eksistensi mereka sebagai umat beragama yang berdampingan dalam hidup. Dari segi historisnya, Ahl al-Kita>b memanglah sudah hidup berdampingan dengan kaum muslimin sejak zaman Nabi Muhammad. Sifat positif dan negatif mereka juga dijelaskan oleh al-Qur'an, begitu juga kecaman-kecaman terhadap mereka. Oleh karenanya al-Qur'an mengatur tentang caracara bersikap dengan Ahl al-Kita>b.
Meskipun telah dihalalkan secara gamblang di dalam al-Qur'an tentang perkawinan dengan wanita Ahl al-Kita>b, para Ulama tetap mensyaratkan dengan persyaratan yang sangat ketat, yang kemudian dengan syarat itu kemungkinan melakukan perkawinan dengan wanita Ahl al-Kita>b sangat kecil. Karena para Ulama cenderung takut kalau-kalau orang yang menikahi wanita Ahl al-Kita>b itu akan pindah agama mengikuti agama istrinya. Karena dalam ajaran agama apapun, menjaga iman merupakan kewajiban dasar. Berbagai benteng syari>'at dirumuskan agar iman tidak sampai tererosi.[16]
B. Pokok Masalah
Mengacu kepada latar belakang masalah selanjutnya penyusun akan mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana dalil yang digunakan oleh M. Quraish Shihab tentang makna Ahl al-Kita>b dan validitas dalilnya dan bagaimana pula metode istinbat}nya dalam menanggapi perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b dan akurasi metode istinbat}nya ?
2.      Bagaimana implikasi pendapatnya terhadap hukum perkawinan beda agama di Indonesia ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dari pembahasan ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan dalil-dalil yang digunakan oleh M. Quraish Shihab tentang pemaknaannya terhadap Ahl al-Kita>b dan bagaimana validitas dari dalil yang digunakannya. Kemudian menjelaskan metode istinbat} yang digunakannya dalam menanggapi perkawinan antara pria muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b dan bagaimana akurasi dari metode istinbat}nya itu.
2. Untuk mengetahui implikasi pendapatnya terhadap hukum perkawinan beda agama di Indonesia.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang tepat terhadap pemikiran M. Quraish Shihab tentang Ahl al-Kita>b dan kemudian pendapat-pendapatnya tentang perkawinan beda agama, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan.
2. Dapat dijadikan bahan untuk studi dalam bidang hukum Islam terutama yang menyangkut perkawinan beda agama.

Dapatkan File Selengkapnya  (BAB I, BAB II, BAB III, BAB IV - Kesimpulan, dan Daftar Pustaka .).. Lihat Disini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Afeksi Pada Remaja

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan salah satu periode kehidupan yang dimulai dengan perubahan biologis pada masa pubertas dan diakhiri dengan masuknya seseorang ke dalam tahap kedewasaan. . Menurut Singgih perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungannya . Menurut H. Werner perkembangan lebih menujukkan pada perubahan dalam satu arah da bersifat tetap. Perkembangan juga diartikan sebagai ”peruibahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah)”. Perkembangan merupakan perubahan psikofisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi psikis dan fisik pada remaja yang ditunjang oleh factor lingkungan dan proses belajar dalam waktu tertentu. Dimana pada perkembangan afeksi remaja ini ju

“ SIFAT DAN RUANG LINGKUP ILMU POLITIK”

Ilmu politik dapat di bedakan dengam ilmu social lain sejauh hal tersebut berkenan dengan wujud pengawasan atau kekuasaan di dalam masyarakat. Max webar memandang organisasi atau perkumpulan sebagai politk “ bila dan hanya apabila penyelenggaraan tatanan politik di laksanakan secara berkesinambungan dengan penggunaan paksaan terhadap anggota-anggota dalam batas teritorialnya. Ilmu politik dapat di bedakan dengam ilmu social lain sejauh hal tersebut berkenan dengan wujud pengawasan atau kekuasaan di dalam masyarakat. Max webar memandang organisasi atau perkumpulan sebagai politk “ bila dan hanya apabila penyelenggaraan tatanan politik di laksanakan secara berkesinambungan dengan penggunaan paksaan terhadap anggota-anggota dalam batas teritorialnya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kajian ilmu politik lebih di pusatkan pada hubungan-hubungan dan pola-pola intraksi individu dan politik juga lebih di pandang sebagai satu aspek dari prilaku manusia di dalam batas-batas lingkungannya Seb

KONSEP KETUHANAN

1. Dinamisme Dinamisme merupakan transide dari bahasa yunani yaitu dynamis yang berarti kekuatan. Menurut paham ini bahwa masyarakat akan mempunyai keyakinan bahwa benda-benda yang berada di sekelilingnya bisa mempunyai kekuatan bathin yang misterius, biasanya ini terjadi pada masyarakat primitif pemberian nama terhadap kekuatan batin yang misterius , berbeda di masing –masing Negara sesuai dengan bahasa mereka namun tujuan adalah sama yaitu tertuju pada kekuatan bathin itu atau di sebut mana. Mana merupakan sesuatu yang tidak dapat di lihat yang nampak hanyalah efeknya saja dalam artian dia ada tapi tidak bisa kita lihat. Mana itu ada yang baik ada yang buruk, paham dinamisme mensejajarkan agar mengambil mana yang baik-baik dan menjahui mana yang lebih buruk karena itu dapat menimbulkan mudarat, kalau kita perhatikan pada saat-saat sekarang ini bahwa “mana” itu sudah mulai pudar di karenakan banyak pemikiran intelek dan juga ke primitifan dari masyarakat itu sudah mulai berkurang di k