BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah
menjadikan perkawinan yang diatur menurut syari‘at Islam sebagai penghormatan
dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri yang diberikan oleh Islam
khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk lainnya.
Mengenai
hakikat perkawinan itu sendiri, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab II pasal
2 menyebutkan sebagai berikut: “perkawinan hukum Islam adalah perkawinan, yaitu
akad yang sangat kuat (mis|a>qan gali<z}}a>) untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”, kemudian disebutkan dalam pasal 3,
“perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah,
mawaddah dan
rah}mah”.
ومن اياته ان خلق لكم
من انفسكم ازواجا لتسكنوا اليها وجعل بينكم مودة ورحمة ان في ذلك لآيات لقوم
يتفكرون
Mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah seperti di atas, sudah
barang tentu bukanlah hal yang sederhana. Untuk mencapai hal itu Islam
menawarkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi.
Mahmud Syaltut dalam bukunya Akidah dan
Syari‘ah Islam menawarkan lima prinsip sebagai
prosedur yang harus dipenuhi dalam pembinaan keluarga pada fase pranikah. Pertama
saling mengenal dan memahami (at-Ta‘a>ruf) di antara kedua mempelai.
Dengan proses saling mengenal dan saling memahami ini diharapkan masing-masing
mempelai mengetahui keadaan calon pasangannya. Dalam hal ini Islam mewasiatkan
bahwa kriteria yang harus dipenuhi dan didahulukan dalam menentukan adalah
kebaikan akhlak dan agama serta tidak semata-mata memandang keadaan fisik,
harta dan keturunan. Kedua adalah al-Ikhtiba>r yaitu tahap penjajakan
yang dilaksanakan dengan melakukan khit}bah. Dalam khit}bah ini calon suami
diperbolehkan melihat wajah, tangan dan telapak kaki si wanita dan juga
diperbolehkan berdiskusi untuk mengetahui pemikiran masing-masing. Dari
pelaksanaan khit}bah ini diharapkan timbul
rasa suka pada masing-masing calon mempelai. Ketiga ar-Ri<d}a>
(kerelaan),
disini syari‘t Islam tidak mencukupkan pada dua prinsip di atas semata
namun juga mengaharuskan adanya kerelaan dalam arti yang sebenarnya dari kedua
mempelai. Keempat Kafa>’ah yaitu kesejajaran antara
kedua mempelai. Ini dimaksudkan agar tidak ada kesenjangan di antara keduanya
setelah mengarungi bahtera rumah tangga. Kelima mahar atau mas kawin,
dalam mahar ini syari‘at mengajarkan agar nilai mahar dalam batas yang wajar.
Dari
keterangan di atas jelaslah bahwa kerelaan (ar-Ri<d}a>( merupakan prinsip pembinaan keluarga yang harus dipenuhi jika memang
ingin terwujudnya keluarga yang harmonis dan bahagia.
Konsep
kerelaan atau persetujuan itu sendiri lebih lanjut harus dipisahkan, karna
persetujuan itu sendiri memiliki dua subjek yang memiliki status hukum berbeda
di kalangan ulama fiqh dalam hal ini yang dimaksud adalah janda atau gadis. Mazhab Sya>fi‘i< misalnya menyebutkan
bahwa kalau persetujuan dari janda maka status hukumnya adalah wajib. Lain
halnya kalau persetujuan datangnya dari anak gadis menurut ulama Sya>fi‘i<ah
tidak begitu
penting (hanya sekedar sunat), bahkan menurut ulama Sya>fi‘i<ah
ketika sudah
memenuhi syarat-syarat tertentu maka orang tua dalam hal ini tidak perlu lagi
meminta persetujuan anak gadis. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
1.
Antara ayah dan anak tidak ada permusuhan
2.
Calon suami sekufu
3.
Mahar yang sesuai
4.
Calon suami sanggup memberikan mahar
Berbeda dengan mazhab Sya>fi‘i<,
mazhab H}a>nafi< berpendapat
bahwa antara status hukum persetujuan
antara janda dengan anak gadis sama saja, keduanya wajib dimintai
persetujuan. Lebih lanjut menurut ulama H}a>nafi<ah
yang membedakan antara janda dengan anak gadis adalah pada tanda
persetujuannya; kalau janda harus tegas, sedangkan anak gadis cukup dengan
diamnya.
Mazhab H}anbali< mensikapi
persoalan ini dengan diwakili dua kubu. Di satu pihak dengan diwakili oleh Ibn Quda>mah
dalam kitabnya al-Mugni< menyebutkan bahwa
persetujuan anak gadis bukanlah sesuatu yang menentukan artinya bahwa tanpa
adanya persetujuan anak gadis pun perkawinan tetap sah, walaupun si anak gadis
tidak menginginkan perkawinan itu, dan
beliau cendrung mengakui hak ijbar bagi wali. Sementara di pihak lain
Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersikukuh bahwa anak gadis pun tetap harus dimintai
persetujuan ketika akan menikahkannya.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih
lanjut dalam karyanya Za>d
al-Ma‘a>d berpendapat bahwa orang tua wajib meminta persetujuan
kepada anak gadis ketika akan menikahkannya.Hukum ini juga mewajibkan agar
gadis yang sudah dewasa tidak dipaksa untuk dinikahkan, dan ia tidak boleh
dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur salaf
dan mazhab H}a>nafi<
serta satu riwayat dari Imam Ah}mad.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah Sebagaimana diketahui adalah sosok pemikir Islam yang banyak mewarnai khazanah
intelektual pemikiran hukum Islam. Satu hal yang menarik adalah walaupun mazhab
H}anbali<
mayoritas berpendapat persetejuan anak gadis sekedar sunat atau penyempurna,
tetapi beliau berani berbeda pendapat.
Melihat konteks pada masa sekarang seiring dengan perkembangan zaman,
yang mana dulunya kaum wanita biasanya dipingit dirumahnya sehingga mereka
cendrung berwawasan sempit dan kurang mengenal dunia luar, maka kondisi
sekarang bisa dilihat bahwa kaum wanita adalah golongan yang berwawasan dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi
pakar dalam disiplin ilmu tertentu.
Berangkat dari kenyataan inilah ditambah lagi bahwa mazhab yang
berkembang di Indonesia
adalah Sya>fi‘i<ah
yang nota bene yang menganggap persetujuan tidak begitu penting (sunnat), maka
penulis tertarik untuk mengangkat pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah ini sebagai
pembahasan dalam karya ilmiyah untuk alternatif.
B. Pokok Masalah
Dari
deskripsi latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah pokok yaitu :
1.
Bagaimana pendapat dan apa yang menjadi landasan
pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis dalam
perkawinan?
2.
bagaimana relevansi pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah
dengan konteks sekarang di Indonesia?
Dapatkan File Selengkapnya (BAB I, BAB II, BAB III, BAB IV - Kesimpulan, dan Daftar Pustaka .).. Lihat Disini
Komentar
Posting Komentar