BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan sangatlah penting dalam kehidupan manusia,
perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan
laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan, manusia
sebagai makhluk yang berkehormatan,
pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan penuh
rasa kasih sayang antara suami dan isteri.
Dalam
hubungan perkawinan banyak menimbulkan berbagai konsekwensi sebagai dampak
adanya perikatan (Aqad) baru yang terjalin, antara lain terjalinnya ikatan
kekeluargaan di antara keduanya, di samping itu hubungan perkawinan juga
membuahkan adanya hak-hak baru yang sebelumnya tidak ada, kewajiban-kewajiban
baru antara pihak yang satu terhadap yang lainnya, di antara
kewajiban–kewajiban itu, termasuk kewajiban suami untuk memberikan nafkah
kepada isterinya.
Jika
seorang isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya dan suami itu telah
bersenang-senang kepadanya, sedangkan suami isteri tersebut termasuk orang yang
ahlu al-istimta>’
dalam perkawinan yang sah maka wajib kepada suami untuk memberikan
nafkah dan diserahkan dengan sepantasnya,
dan hal ini sesuai dengan hadis Nabi Saw:
فاتّقوا
الله في النساء فإنّكم أخذ تموهنّ بأمانة الله واستحللتم فروجهنّ بكلمة الله ولكم
عليهنّ إلا يوطئن فراشكم أحدا تكرهونه فإنّ فعلن ذلك فاضربوهنّ ضربا غير مبرح
ولهنّ عليكم رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف
Apabila
seorang isteri taat kepada suaminya maka wajib bagi suami memberikan nafkah,
sedangkan jika suami tidak memberikannya hingga lewat suatu masa maka nafkah
tersebut menjadi hutang suami (nafkah qada>’) karena tanggungannya, dan tidaklah gugur hutang tersebut dengan
melewati suatu masa.
Ibnu
Hazm seperti dikutip oleh as-Sayyid Sabiq berkata: “suami berhak menafkahi
isterinya sejak terjalinnya akad nikah baik suami mengajak hidup serumah atau
tidak, baik isteri masih di buaian atau isteri berbuat nusyuz atau tidak, kaya
atau fakir, masih punya orang tua atau yatim piatu, gadis atau janda, merdeka
atau budak, semua itu disesuaikan dengan keadaan dan kesanggupan suami”.
Tanggung
jawab suami, tidak hanya ketika seorang wanita itu masih menjadi isterinya yang
sah, akan tetapi kewajiban untuk memberikan nafkah juga pada saat perceraian, karena pada hakekatnya ucapan cerai itu
baru berlaku setelah habis masa ‘iddahnya.
Berkaitan dengan nafkah Allah SWT berfirman:
Terputusnya
perkawinan dalam Islam membawa akibat-akibat tertentu baik kepada mantan suami
atau kepada mantan isteri. Akibat
hukum terputusnya perkawinan karena talak adalah:
Bahwa
bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik
berupa uang atau benda, kecuali qabla ad dukhu>l; memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian)
kepada bekas isteri selama masa iddah (menunggu), kecuali bekas isteri telah
dijatuhi talak ba’in atau nusyu>z; melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo apabila qabla
ad-dukhu>l; memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai
umur 21 tahun. dan memberikan nafkah
iddahnya kepada bekas isterinya, kecuali isterinya nusyuz.
Kewajiban-kewajiban tersebut melekat pada diri suami dan harus
dipenuhi oleh suami karena merupakan
hak-hak isteri sebagai akibat hukum dari cerai talak, dan tanggung jawab nafkah
dalam kasus perceraian itu sesuai dengan firman Allah SWT:
أسكنوهنّ
من حيث سكنتم من وجدكم ولا تضارّوهنّّ لتضيّقوا عليهنّ وإن كنّ أولات حمل فأنفقوا عليهنّ حتّي يضعن حملهنّ فإن أرضعن لكم فأتوهنّ
أجورهنّ وأتمروا بينكم بمعروف وإن تعاسرتم فسترضع له أخرى.
Menurut
mazhab Abu Hani>fah, mantan suaminya wajib memberikan nafkah kepada mereka (mantan
isteri) secara komplit dan utuh baik
makanan, pakaian, dan tempat tinggal selama masa ‘iddah, menurut ulama Mujtahiddin, bahwa wajib
kepada seseorang untuk menafkahi orang-orang yang wajib diberikan nafkah
seperti isterinya, ayahnya serta anaknya yang masih kecil (belum
sampai umur). Sedangkan menurut para ulama Maliki suami
berkewajiban untuk menyediakan akomodasi bagi isteri yang dicerainya, bila dia
telah bercampur dengannya, meskipun demikian, sang suami tak wajib memberikan
nafkah kepada isteri yang dicerai talak tiga, tetapi wanita yang hamil tetap
mendapatkan nafkahnya baik talak satu maupun talak tiga.
Sedangkan
berkaitan dengan ‘iddah bagi mantan isteri yang dicerai suaminya yang masih
hidup (cerai Hidup), adalah
: a. Jika perempuan itu
masih haid, ‘iddahnya 3 kali sucian; b. Jika perempuan yang ditalak
belum/ tidak haid karena belum saatnya (misalnya:
usianya masih sedikit atau tidak haid lagi karena sudah tua maka ‘iddahnya 3
bulan).
Berkaitan dengan persoalan di atas kemudian muncul
seorang tokoh feminis muslim asal India, yaitu Asghar Ali Engineer, yang dilahirkan pada tanggal 10 Maret
1949 di Bombay, yang mempunyai pendapat berbeda dengan fuqaha yang lain
mengenai pemberian nafkah bagi isteri yang telah dicerai. Dia adalah seorang
Direktur Institut of Islamic Studies, Bombay, India, di samping itu dia juga
seorang teolog Islam dengan reputasi Internasional. Dia sudah menulis banyak
buku, paper penelitian dan artikel tentang teologi, yurisprudensi, sejarah dan
filsafat Islam serta memberi kuliah di berbagai Negara, dia juga adalah seorang
feminis muslim yang gigih dalam penegakan kesetaraan gender dan perjuangan
untuk menetapkan relasi gender yang berkeadilan dalam Islam. Penulis memilih
Asghar disebabkan karena Asghar di mata para tokoh feminis mempunyai kedudukan
yang istimewa. Pertama, karena ia menempatkan masalah-masalah
pandangan yang berkembang dalam dunia Islam tentang perempuan dari sudut/metode
pendekatan yang tidak hanya terbatas pada masalah fiqh akan tetapi juga
mencakup aspek filsafat, antropologi, sosiologis dan sejarah. Kedua,
dia menyajikan tulisannya dalam prespektif tantangan sosio kultural yang
dihadapi dunia Islam zaman modern ini. Di samping pandangannya
yang cukup revolusioner dalam bidang teologi yaitu perlunya dikembangkan
“teologi pembebasan Islam” namun Asghar juga memiliki pandangan yang cukup
liberal dalam menginterpretasikan suatu teks yang dianggap bias gender. Salah
satunya adalah mengenai pemberian nafkah
bagi mantan isteri yang dicerai.
Menurut Asghar pemberian nafkah bagi mantan isteri yang
telah diceraikan tidak hanya selama masa ‘iddah saja, akan tetapi sampai
menikah lagi atau mati,sebagian pemimpin Islam menganggap bahwa hukum Islam itu suci dan tidak bisa
diubah, para pemimpin ini mempropagandakan, dalam Islam mantan isteri yang
diceraikan itu hanya dapat jatah nafkah pada periode ‘iddah, bahkan ada
diantara pemimpin itu berpendapat bahwa memberikan nafkah di luar periode
tersebut adalah dosa.
Menurut
Asghar adalah jauh dari rasa keadilan bila isteri yang dicerai harus dipelihara
oleh orang tua atau kerabatnya setelah periode ‘iddah, adalah benar bahwa dalam
hukum Islam seorang yang telah dicerai berhak mendapatkan nafkah hanya selama
masa ‘iddah, setelah itu dia bebas untuk kawin lagi atau kembali kepada orang
tuanya atau jika sudah tidak punya orang tua atau kepada kerabatnya.
Hal
senada juga diungkapkan oleh Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum
Perkawinan Islam, berkaitan dengan QS. al-Baqarah: 241, yang menegaskan
bahwa perempuan yang ditalak berhak atas mata' dengan ma'ru>f, sebagai hak atas orang-orang yang
bertaqwa. Mata' dengan ma'ru>f biasanya diartikan sebagai
hiburan yang pantas, berupa sejumlah harta yang diberikan kepada isteri yang
ditalak, untuk memperluas arti mata' sebagaimana disebutkan dalam
al-Quran yang dikaitkan pula dengan ma'ru>f (yang pantas), tidak ada halangan apabila pengadilan dalam
kasus-kasus perceraian tertentu memutuskan ujud dari mata' itu berupa
sejumlah uang yang dapat menjadi biaya hidup mantan isteri sehabis masa ‘iddah,
untuk waktu tertentu.
Sedangkan dasar filosofis yang dikemukakan Asghar adalah
bahwa semua manusia adalah sama, merdeka dan makhluk berakal yang memberi
kecenderungan kepada persamaan dan keadilan. Oleh karena itu secara natural
akan selalu melawan segala bentuk penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan
dalam segala hal. Dengan menggali nilai-nilai revolusioner dalam kitab suci dan
semangat perjuangan para nabi, khusunya Nabi Muhammad dalam menegakkan
nilai-nilai keislaman sebagai sumber inspirasi dalam mengkritisi realitas
praksis sejarah, Asghar berpendapat bahwa Islam sangat menjunjung tinggi harkat
dan martabat wanita sehingga tidak ada subordinasi atas wanita. Yang ada hanya
kesetaraan gender dalam Islam.
Berangkat
dari pendapat Asghar Ali Engineer yang kontroversi dengan pendapat jumhur ulama
dan Kompilasi Hukum Islam, maka menjadi sangat penting kiranya masalah ini
diteliti lebih mendalam melalui skripsi ini, sebagai kontribusi dan kajian
ulang pemikiran dalam pengembangan kajian kontemporer.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan
pokok permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana kriteria bagi wanita
yang berhak mendapatkan nafkah dari mantan suaminya menurut Asghar? dan bagaimanakah
Asghar memahami ayat-ayat al-Qur’an tentang pemberian nafkah bagi mantan
isteri?
2. Bagaimana
relevansinya dengan konteks sekarang?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
a.
Untuk menjelaskan bagaimana
pandangan Ashgar Ali Engineer kriteri-kriteria bagi mantan isteri yang berhak
untuk mendapatkan nafkah, dan untuk menjelaskan pandangan-pandangan Asghar
dalam memahami tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan nafkah bagi mantan
isteri.
b.
Untuk menjelaskan bagaimana
relevansi pendapat Asghar dengan konteks sekarang.
Dapatkan
File Selengkapnya (BAB I, BAB II, BAB III, BAB IV - Kesimpulan, dan
Daftar Pustaka .).. LihatDisini
Komentar
Posting Komentar