Langsung ke konten utama

PEMIKIRAN DJAMAL DOA DAN DIDIN HAFIDHUDDIN MENGENAI PERMASALAHAN PAJAK DAN ZAKAT


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Diskusi mengenai hubungan zakat dan pajak nampaknya telah dimulai sejak masa-masa awal pengembangan Islam. Itu terjadi tatkala pasukan muslimin baru saja berhasil menaklukkan Irak. Khalifah Umar, atas saran−saran pembantunya memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan perang, termasuk tanah bekas wilayah taklukan. Tanah−tanah yang direbut dengan kekuatan perang ditetapkan menjadi milik kaum muslimin. Sementara tanah yang ditaklukkan dengan perjanjian damai tetap dianggap milik penduduk setempat. Konsekuensinya, penduduk diwilayah Irak tersebut diwajibkan membayar pajak (khara>j), bahkan sekalipun pemiliknya telah memeluk ajaran Islam. Inilah kiranya yang menjadi awal berlakunya pajak bagi kaum muslimin di luar zakat.
Penarikan pajak di luar zakat selanjutnya terus berlangsung meski dengan alasan yang berbeda−beda. Seiring berjalannya waktu, hubungan zakat dan pajak menjadi terbalik. Dimulai dengan kemunduran kaum Muslimin, penjajahan Eropa, dan hegemoni peradaban Barat sehingga hukum−hukum syar’i semakin ditinggalkan, dan sebaliknya hukum−hukum Barat buatan manusia diutamakan. Kewajiban zakat disubordinasikan dan diganti dengan kewajiban pajak. Akibatnya muncul pertanyaan: Wajibkah kaum Muslimin membayar zakat sementara ia telah membayar pajak, Padahal sebenarnya pajak tidak mempunyai hubungan keterkaitan langsung dengan keyakinan agama. Oleh sebab itu antara zakat dan pajak tidaklah bisa dipersamakan, sehingga munculah perdebatan tentang kewajiban membayar zakat setelah pajak ataupun sebaliknya.
Di Indonesia sendiri diskusi tentang relasi pajak dan zakat sudah sejak lama dilakukan diantaranya adalah Seminar Nasional Tentang Pajak Dan Zakat yang diselenggarakan oleh MUI bekerjasama dengan Bina Pembangunan,yang diadakan di Jakarta pada 2-4 Maret 1990 dan seminar Hukum Islam Dan Perpajakan yang diselenggarakan oleh IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi yang bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan. Yang diadakan di Jambi pada 25-26 Nopember 1988.
Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan UU No.38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan untuk mengakomodasi umat Islam yang membayar zakat dan pajak. Dengan disyahkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, mulai tahun 2001 sebenarnya para pembayar zakat penghasilan (zakat ma>l) sudah dapat menjadikan jumlah zakat yang dibayar sebagai faktor pengurang atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari Pajak Penghasilan. Ini adalah langkah awal yang baik, walaupun langkah ini belumlah cukup karena zakat bukan hanya ada pada penghasilan kena pajak tapi meliputi banyak hal yang di antaranya justru oleh pemerintah tidak dikenakan pajak, tapi merupakan sesuatu yang zakatnya sangat ditekankan dalam Agama. Sebagai misal adalah zakat hasil pertanian, dan zakat hewan ternak. Namun demikian, Pemerintah secara tidak langsung menghargai zakat sebagai salah satu kewajiban (rukun) bagi yang beragama Islam untuk mendorong sekaligus mengingatkan bahwa zakat adalah suatu kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan.
Di tengah menguatnya peranan pajak dalam penerimaan kas Negara, secara bersamaan muncul sebuah kesadaran umat akan peranan zakat. Dua hal ini menuntut pengelolaan yang tepat. Manajemen yang buruk terhadap kenyataan ini tentu akan menimbulkan efek yang kontra produktif dalam pembangunan nasional.  Setidaknya sejak tahun 1990-an pembahasan keduanya memunculkan beberapa isu penting yang berkisar pada permasalahan eksistensi, pada aspek ini diskusi berkembang dari persoalan eksistensi sampai posisi pajak dan zakat. Seperti salah satu pendapat yang mendudukkan keduanya dalam hubungan substitusi. Dengan pendapat ini pajak dan zakat dapat saling menggantikan dan saling menghapus kewajiban. Umat Islam yang sudah membayar pajak tidak perlu membayar zakat dan sebaliknya.
Problem dari pendapat ini adalah tidak tersedianya alat legislasi yang mendukung pendapat ini. Undang-undang yang berhubungan dengan pajak penghasilan sebelum UU Nomor 17 Tahun 2000 tidak memiliki pasal-pasal yang akomodatif terhadap pendapat ini. Oleh karena itu, anggapan bahwa jika telah dilakukan pembayaran atas zakat, maka tidak perlu membayar pajak atau sebaliknya, menjadi sulit dicari argumentasi hukumnya.
Sementara pendapat yang lain menolak pendapat pertama dan menyatakan bahwa pajak dan zakat bersifat eksklusif satu dengan lainnya. Pembayaran pajak bukan merupakan pembayaran zakat, dan pembayaran zakat bukan merupakan pembayaran pajak. Problem yang muncul dari pendapat yang kedua ini adalah munculnya dualisme pemungutan atas objek yang sama. Dualisme pemungutan ini pada gilirannya tentu akan menyulitkan pemilik harta atau pemilik penghasilan. Kontraksi dana dengan dualisme sistem ini potensial menimbulkan efek yang kontra produktif dalam konteks menyejahtarakan rakyat.[4] Sehingga hal ini bisa menjadi pemicu dikalangan umat muslim untuk lebih memprioritaskan pembayaran pajak daripada zakat.
Umat Islam di Indonesia khusunya dan juga di Negara-negara Islam lainnya (Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Mesir) menghadapi masalah yang aktual mengenai pajak dan zakat. Yaitu, seandainya umat Islam di Negara yang pemerintahannya tidak menangani langsung pengelolaan zakat, seperti Indonesia, dan pemerintah memungut pajak yang jumlahnya melebihi jumlah zakatnya, tetapi pemerintah menggunakan sebagian pajak itu untuk semua sebagian dari delapan pos penggunaan zakat yang dapat diketahui lewat GBHN, Pelita dan APBN.[5] Maka apakah pembayaran zakatnya bisa diniatkan sebagai pembayaran zakatnya, atau haruskah dicari jalan keluar lain untuk menghindari double duties yang bisa memberatkan?[6]
Uraian diatas memberi gambaran bahwa masih ada permasalahan yang harus dibenahi dalam hubungan pajak dan zakat khususnya di Indonesia, diantaranya : 1) Bagaimana kedudukan pajak dan zakat di Indonesia, kedudukan ini walaupun sudah disinggung dalam Undang-undang tapi dalam pelaksanaanya masih terasa amat kurang, dan ini menjadi penting mengingat umat islam adalah penduduk mayoritas. 2) Anggapan bahwa umat Islam yang membayar zakat, terkena pengeluaran berganda, selain membayar pajak juga membayar zakat dari penghasilan yang diperolehnya, 3) pendistribusian dan pengelolaan, 4) sikap pemerintah yang seolah mengesampingkan peran zakat (ini terlihat dari keengganan pemerintah untuk secara tegas dalam mengambil kebijakan mengenai zakat), meskipun sudah ada dasar hukumnya, peran pemerintah dalam mewujudkan amanat Undang-undang tersebut masih belum begitu terasa, dan 5) Bagaimana agar umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia ini bisa menjadi warga Negara yang baik sekaligus menjadi umat Islam yang taat. Dalam kaitannya dengan pajak dan zakat adalah bahwa pajak dibayarkan, zakat tidak terabaikan, dan masyarakat tidak terlalu terberatkan.
Kajian ini akan membahas pendapat M. Djamal Doa dan Didin Hafidhuddin (dua tokoh yang menjadi sentral kajian dalam skripsi ini) atas pemikiran mereka mengenai permasalahan pajak dan zakat di Indonesia. Hal ini diasumsikan pada dedikasi kedua tokoh tersebut yang mewakili antara satu dengan yang lainnya. M. Djamal Doa sebagai anggota DPR RI Periode 1999-2004 Komisi V dan juga pernah menjadi anggota panitia anggaran, ia juga pernah bekerja pada direktorat jenderal pajak, dan bisa dikatakan sebagai seorang pakar pajak. Namun demikian, ia konsisten dan gigih memperjuangkan agar zakat bisa dikelola oleh Negara. Sebagai seorang pakar pajak ia mendorong agar dilakukan subsidi silang guna menghindari pungutan ganda pajak dan zakat, ini bisa diartikan bahwa pembayaran pajak bisa sekaligus sebagai pembayaran atas zakat, atau sebaliknya pembayaran zakat bisa sekaligus menutup kewajiban pajak.[7] Ini terutama kaitannya dengan pajak dan zakat niaga dan penghasilan. Dengan demikian ia bisa digolongkan sebagai kelompok pertama. Selain itu sebagai pakar pajak, Djamal Do’a bahkan mendorong agar pengelolaan serta pendistribusian zakat dilakukan langsung oleh pemerintah, untuk selanjutnya penerimaan zakat dimasukkan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebagaimana penerimaan pajak dan bea cukai. Ia beralasan bahwa pemerintah adalah pihak yang memiliki data yang lebih lengkap mengenai warganya,[8] baik yang berkewajiban maupun yang berhak atas zakat, menurutnya juga bahwa pembagian zakat secara konvensional justru akan membuat para penerimanya menjadi pasif. Sedangkan Didin Hafidhuddin merupakan seorang ulama pakar zakat di Indonesia, ia pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional (BAZ-NAS), selain aktif di kegiatan-kegiatan sosial yang berbau keislaman, Didin juga aktif di dunia akademik sehingga ketokohannya tidak terbantahkan. Dalam hal ini walaupun Didin Hafidhuddin setuju dengan pendapat tentang pengelolaan zakat oleh Negara,[9] namun ia tetap memberi garis pemisah yang tegas antara pajak dengan zakat. Maka ia bisa mewakili kelompok kedua, yaitu yang melihat pajak dan zakat secara eksklusif, dimana pembayaran pajak bukan merupakan pembayaran zakat, dan pembayaran zakat bukan merupakan pembayaran pajak. Diantara keduanya tidak bisa saling menggantikan. Didin juga berpendapat bahwa, jika penggunaan pajak terbukti untuk hal-hal yang menyimpang dari nilai-nilai islam, dan juga kemaslahatan bersama maka tidak ada alasan bagi umat islam untuk membayar pajak.[10] Ia beralasan bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk (penguasa) jika bermaksiat kepada khaliq (Allah SWT).
Dalam kajian tentang relasi pajak dan zakat ini, baik M. Djamal doa maupun Didin Hafidhuddin (untuk selanjutnya disebut Djamal dan Didin) mempunyai perhatian serius yang terwujud dalam tulisan-tulisan mereka. Lebih dari itu, mereka  juga telah melakukan hal-hal nyata sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Perjuangan Djamal misalnya, pada saat masih menjadi anggota DPR ia mengirimkan surat terbuka pada Presiden dan Wakil Presiden (yakni presiden Megawati dan Wapres Hamzah Haz) untuk segera membuat kebijakan nasional dalam masalah pengelolaan zakat. Sedangkan Didin, ia melakukan berbagai penelitian yang berkaitan dengan pajak dan zakat, diantaranya adalah Rekonseptualisme Strategi Pengumpulan dan Pendayagunaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh, serta Sumber-sumber Zakat dalam Perekonomian Modern; Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika, Bait Al-Maal Mu’amalah, dan BAZIZ DKI Jakarta. Selain itu ia juga di percaya untuk menjadi Anggota Badan Syari’ah Nasional, Ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional (BAZ-NAS). Ketua Dewan Syari’ah Dompet Dhuafa Republika, dan menjadi Ketua Dewan Syari’ah Bank Bukopin, Bank Syari’ah IFI, Bank Syari’ah Amanah Ummah – Bogor.
Pemikiran Djamal dan Didin tentang pajak dan zakat merupakan sebuah upaya demi terwujudnya pemerataan, keadilan, serta kesejahteraan sosial masyarakat, dan merupakan bentuk usaha untuk membangkitkan kembali kesadaran umat dan pemerintah tentang tidak kalah pentingnya zakat dibanding  pajak. Gagasan-gagasan dari kedua tokoh tersebut diharapkan dapat menjadi solusi alternatif untuk memecahkan berbagai problem kemiskinan yang semakin membelit rakyat Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan tentang pemikiran kedua tokoh tersebut tentang pajak dan zakat di Indonesia menjadi menarik untuk dilakukan.
B.     Pokok Masalah
Dari penjelasan di atas perlu dirumuskan pokok-pokok masalah agar penelitian dapat terfokus dengan baik. Dengan demikian perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemikiran Djamal Doa dan Didin Hafidhuddin mengenai pajak dan zakat?
2.      Mengetahui persamaan dan perbedaan dari gagasan-gagasan yang mereka tawarkan.
C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
a.       Mendeskripsikan secara jelas pemikiran M. Djamal Doa dan Didin Hafidhuddin mengenai pajak dan zakat
b.      Menjelaskan persaman dan perbedaan gagasan mengenai pajak dan zakat dalam pandangan kedua tokoh tersebut.
2.      Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebgai berikut:
a.       Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi informasi ilmiah dalam studi hukum Islam, khususnya mengenai pajak dan zakat
b.      Penelitian ini diharapkan dapat memberi wacana pemikiran umat islam khususnya di Indonesia mengenai permasalahan pajak dan zakat.
c.       Memberi sumbangan bagi kajian perbandingan pemikiran tokoh dalam studi hukum Islam di masa yang akan datang
Dapatkan File Selengkapnya  (BAB I, BAB II, BAB III, BAB IV - Kesimpulan, dan Daftar Pustaka .).. Lihat Disini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Afeksi Pada Remaja

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan salah satu periode kehidupan yang dimulai dengan perubahan biologis pada masa pubertas dan diakhiri dengan masuknya seseorang ke dalam tahap kedewasaan. . Menurut Singgih perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungannya . Menurut H. Werner perkembangan lebih menujukkan pada perubahan dalam satu arah da bersifat tetap. Perkembangan juga diartikan sebagai ”peruibahan-perubahan yang dialami individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah)”. Perkembangan merupakan perubahan psikofisik sebagai hasil dari proses pematangan fungsi psikis dan fisik pada remaja yang ditunjang oleh factor lingkungan dan proses belajar dalam waktu tertentu. Dimana pada perkembangan afeksi remaja ini ju

“ SIFAT DAN RUANG LINGKUP ILMU POLITIK”

Ilmu politik dapat di bedakan dengam ilmu social lain sejauh hal tersebut berkenan dengan wujud pengawasan atau kekuasaan di dalam masyarakat. Max webar memandang organisasi atau perkumpulan sebagai politk “ bila dan hanya apabila penyelenggaraan tatanan politik di laksanakan secara berkesinambungan dengan penggunaan paksaan terhadap anggota-anggota dalam batas teritorialnya. Ilmu politik dapat di bedakan dengam ilmu social lain sejauh hal tersebut berkenan dengan wujud pengawasan atau kekuasaan di dalam masyarakat. Max webar memandang organisasi atau perkumpulan sebagai politk “ bila dan hanya apabila penyelenggaraan tatanan politik di laksanakan secara berkesinambungan dengan penggunaan paksaan terhadap anggota-anggota dalam batas teritorialnya. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kajian ilmu politik lebih di pusatkan pada hubungan-hubungan dan pola-pola intraksi individu dan politik juga lebih di pandang sebagai satu aspek dari prilaku manusia di dalam batas-batas lingkungannya Seb

KONSEP KETUHANAN

1. Dinamisme Dinamisme merupakan transide dari bahasa yunani yaitu dynamis yang berarti kekuatan. Menurut paham ini bahwa masyarakat akan mempunyai keyakinan bahwa benda-benda yang berada di sekelilingnya bisa mempunyai kekuatan bathin yang misterius, biasanya ini terjadi pada masyarakat primitif pemberian nama terhadap kekuatan batin yang misterius , berbeda di masing –masing Negara sesuai dengan bahasa mereka namun tujuan adalah sama yaitu tertuju pada kekuatan bathin itu atau di sebut mana. Mana merupakan sesuatu yang tidak dapat di lihat yang nampak hanyalah efeknya saja dalam artian dia ada tapi tidak bisa kita lihat. Mana itu ada yang baik ada yang buruk, paham dinamisme mensejajarkan agar mengambil mana yang baik-baik dan menjahui mana yang lebih buruk karena itu dapat menimbulkan mudarat, kalau kita perhatikan pada saat-saat sekarang ini bahwa “mana” itu sudah mulai pudar di karenakan banyak pemikiran intelek dan juga ke primitifan dari masyarakat itu sudah mulai berkurang di k